advertisement
EkonomiNelayanNewsSumber Daya

Tinggalkan Trawl, Perekonomian Nelayan Lampung Mengalami Peningkatan Pesat

advertisement

Lautku.id – Peningkatan pendapatan nelayan Pesisir Lampung Timur semakin tinggi pasca beralih dari alat tangkap trawl menjadi bubu. Selain untuk menjaga kelestarian lingkungan laut, alat tangkap yang sebelumnya telah direkomendasikan KKP tersebut secara perlahan mampu memperbaiki perekonomian nelayan setempat. Salah satu nelayan bernama Asnawi mengaku bahwa penggunaan bubu lebih menghemat bahan bakar dibandingkan menggunakan trawl, serta hasil tangkapan yang dihasilkan memiliki harga lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan menggunakan trawl.

“Hasil tangkapan rajungan menggunakan alat tangkap bubu lebih baik dan meningkat dibandingkan menggunakan trawl. Selain itu rajungan banyak yang tidak utuh karena rusak terjerat jaring apabila menggunakan trawl,” ungkapnya.

Selain itu, menurutnya operasional menggunakan bubu membutuhkan 100 liter bahan bakar yang dapat digunakan 5 hari. Sedangkan saat menggunakan trawl 100 liter bahan bakar hanya bisa digunakan selama 1 hari. Perbedaan penggunaan bahan bakar yang digunakan inilah menjadi salah satu penyebab banyaknya nelayan Lampung yang beralih dari alat tangkap trawl menjadi bubu. Pembinaan terus dilakukan oleh Asnawi pada nelayan di Desa Kuala Teladas, Kabupaten Tulang Bawang Lampung. Dari sekitar 300 kapal di daerahnya, 100 unit kapal telah beralih menggunakan alat tangkap bubu.

advertisement

“Secara bertahap pembinaan akan terus dilakukan bersama pemerintah pusat dan daerah. Kami terus mendorong agar nelayan Lampung dapat menerapkan praktik penangkapan berkelanjutan demi menjaga keberlangsungan sumber daya rajungan dan perekonomian lokal,” tandasnya.

Bubu merupakan salah satu alat tangkap ikan yang memiliki bentuk persegi panjang yang terbuat dari kawat atau kayu/bambu. Dirancang sedemikian rupa agar nantinya ikan dapat masuk namun akan sulit untuk keluar. Nelayan akan menempatkan bubu pada kedalaman 10-20 meter menggunakan pemberat berupa batu, dan akan menariknya ke permukaan setelah 3-12 jam. Pengoprasian yang ramah lingkungan dan tidak mengganggu keberlangsungan ekosistem laut. 

Asnawi berkomitmen untuk mengubah alat tangkap yang digunakan sejak tahun 2019 setelah bergabung pada Komite Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan (KPPRB). Komite ini terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Perwakilan Nelayan, Perwakilan Aktor rantai pasok, Universitas, Non Government Organization (NGO) termasuk ke dalamnya Environmental Defense Fund (EDF) dan Mitra Bentala.

advertisement

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ridwan Mulyana menjelaskan KPPRB berfokus pada keberlanjutan sumber daya ikan dengan pelanggaran alat tangkap ikan yang dapat merusak. Selain itu juga akan mendukung peningkatan kapasitas masyarakat setempat melalui beberapa jenis pelatihan untuk nelayan.

“Program KPPRB yang merupakan kerja sama antara KKP dengan EDF ini telah menjangkau lebih dari 170 nelayan di lima desa di Lampung yang berfokus pada pengelolaan perikanan rajungan berkelanjutan,” katanya.

Upaya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya sudah terus dilakukan dengan cara mengajak berbagai pihak untuk memegang teguh prinsip keberlanjutan dalam mengelola sumber daya alam kelautan dan perikanan. Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan sejalan dengan kebijakan penangkapan terukur yang akan diterapkan KKP di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Terdeteksi

Matikan Adblock di browser anda untuk mendapatkan pengalaman penelusuran terbaik.