Perang-Perang yang Pernah Terjadi di Laut Indonesia
Kemerdakaan ialah suatu yang harus diperjuangkan ataupun dipertahankan, merdeka berarti kebebasan dari penjajahan dan berdaulat. Perjuangan identik dengan peperangan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata perang adalah permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya). Peperangan bisa terjadi di darat, udara, maupun lautan, Indonesia sendiri sebagai bangsa yang merdeka pernah beberapa kali melakukan peperangan di laut, baik sebelum kemerdakaan maupun setelah yang beberapa diantaranya:
Pertempuran Laut Jawa (Februari 1942)
Pada malam 9-20 Februari, sebuah angkatan Sekutu menyerang Armada Invasi Timur di lepas Bali dalam pertempuran Selat Bandung. Juga pada tanggal 19 Februari armada utama jepang, di bawah Laksamanan Chuichi Nagumo, menyerang dan menghancurkan pelabuhan di Darwin, Australia utara hingga tak mampu berfungsi sebagai markas suplai dan laut untuk mendukung operasi di Hindia Timur. Ketika pertempuran akan mulai, Sekutu jauh lebih lemah. Mereka terpecah belah (kapal-kapalnya berasal dari 4 negara terpisah) dan moral pelautnya rendah karena serangan udara yang konstan dan rasa takut karena mengira Jepang sulit untuk dikalahkan. Selain itu, koordinasi antara AL dan AU Sekutu lemah. Pertempuran itu terdiri atas serangkaian percobaan lebih dari 7 jam oleh Angkatan Serangan Gabungan Doorman untuk mencapai dan menyerang konvoi penyerbu itu; masing-masing ditolak telak oleh angkatan pengawal dengan kekalahan berat yang dipanggul pihak Sekutu.
Pertempuran Selat Bali (April 1946)
Kedatangan Belanda bersama tentara sekutu ke Indonesia pada tanggal 2 Maret 1946 adalah untuk menguasai kembali Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia dengan menguasai terlebih dahulu pulau-pulau kecil seperti Bali dan Nusa Tenggara yang disebut sebagai Sunda Kecil.
Pada tanggal 4 April Kapten Markadi bersama Pasukan M mulai bertolak dari Pantai Boom menyeberangi Selat Bali menggunakan 16 perahu cadik yang diperoleh dari bantuan para nelayan setempat. Mereka melintasi Selat Bali sekitar pukul sembilan malam tanpa diketahui oleh pihak Belanda. Namun keesokan harinya pada 5 April menjelang fajar, sekitar dua mil dari bibir Pantai Penginuman, pelayaran mereka dihadang oleh dua kapal Angkatan Laut Belanda jenis LCM (land craft mechanized) yang sedang berpatroli. Tepat sebelum perahu-perahu tersebut diminta untuk menyerah kepada Belanda, Kapten Markadi memberi isyarat untuk bersiap-siap menyerang. Baku tembak akhirnya meletus di Selat Bali. Angkatan Laut Belanda membombardir perahu Pasukan M dengan senjata kaliber 12,7 mm. Serangan tersebut tidak berdampak buruk karena hanya mengenai tiang perahu.
Belanda juga sempat beberapa kali mengarahkan kapal mereka untuk menabrak perahu milik Kapten Markadi. Ketika posisi kedua kapal dan perahu semakin berdekatan, Kapten Markadi segera menyambut dengan melempari sejumlah bom granat tangan ke arah kapal musuh, yang mengakibatkan salah satu kapal terbakar dan tenggelam. Sementara kapal satunya berhasil menjauh, kembali ke Pantai Penginuman dengan membawa beberapa kerusakan. Kapten Markadi bersama Pasukan M kemudian memutar haluan dan kembali ke Pelabuhan Banyuwangi untuk menghindari konflik yang berlebihan. Peristiwa tersebut mengakibatkan dua korban dari pihak Indonesia, Sumeh Darsono dan Sidik, serta Tamali yang mendapatkan luka tembak. Mereka memulihkan diri beberapa saat kemudian kembali berlayar ke Pulau Bali pada malam harinya dan berhasil mendarat di Bali untuk bergabung membantu pasukan Ciung Wanara yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai melawan pasukan Angkatan Laut Belanda.
Pertempuran Laut Sibolga (Mei 1947)
Pertempuran Laut Sibolga merupakan peristiwa peperangan yang terjadi antara Pasukan TRI Tapanuli melawan Angkatan Laut Belanda di Teluk Sibolga pada tanggal 10 dan 12 Mei 1947. Insiden ini diawali dengan adanya patroli laut oleh Angkatan Laut Belanda di wilayah pesisir barat Sumatra dengan tujuan untuk memblokade laut Indonesia. Kapal yang digunakan untuk operasi tersebut adalah kapal jenis penjelajah torpedo, HRMS Banckert JT-1.
Setelah Jepang menyerah kepada pasukan sekutu dan Indonesia telah memproklamasi kemerdekaannya atas penjajahan, pemerintahan sipil Belanda tetap tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara menyeluruh, berikut kesepakatan pada Perundingan Linggarjati yang dilanggar oleh Angkatan Laut Belanda. Insiden pelanggaran demarkasi oleh Belanda terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia salah satunya adalah Pelabuhan Sibolga.
Pada tanggal 9 Mei 1947 terjadi perselisihan yang diawali dengan kedatangan kapal Belanda jenis penjelajah torpedo HRMS Banckert JT-1 yang sedang patroli di pantai barat Sumatera. Mereka hendak menangkap dan memeriksa kapal dagang asal Singapura yang dituduh telah melakukan penyelundupan. Kapal tersebut tanpa diketahui oleh pihak Belanda terdapat dua anggota ALRI Sibolga, namun akhirnya berhasil dikembalikan ke pelabuhan Sibolga menggunakan sekoci. Setelah peristiwa tersebut, Residen Tapanuli Dr. Ferdinand Lumban Tobing mengambil tindakan dengan mengirim surat kepada komandan kapal perang Belanda yang berisi teguran untuk segera meninggalkan Teluk Sibolga karena daerah tersebut merupakan wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Insiden berlanjut hingga esok hari, HRMS Banckert JT-1 kembali berlayar di Teluk Sibolga dan menurunkan sebuah sekoci dengan tujuan hendak menangkap awak kapal dagang tersebut. ALRI segera mengambil sikap dengan menyiapkan pertahanan, menempatkan beberapa penembak jitu di Bukit Ketapang, dan mengirimkan utusan dari pihak RI, Letnan Oswald Siahaan untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Namun komandan kapal Belanda, Mayor G Kondys mengirimkan sebuah sekoci berisi pasukan yang menembaki perahu utusan RI. Terjadi Baku tembak antara kedua pihak. Penembak jitu dari ALRI Sibolga, Letnan Arie Poloan bersama pertahanan di garis pantai ikut menembaki sekoci Belanda hingga berhasil memukul mundur.
Pertempuran Laut Aru (Januari 1962)
Pertempuran Laut Aru adalah suatu pertempuran yang terjadi di Laut Arafuru, Maluku pada tanggal 15 Januari 1962 antara Indonesia dan Belanda. Insiden ini terjadi sewaktu dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis Neptune dan Firefly milik Belanda menyerang RI Matjan Tutul (650), RI Matjan Kumbang (653) dan Ri Harimau (654) milik Indonesia yang sedang berpatroli pada posisi 04,49° LS dan 135,02° BT. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, “Kobarkan semangat pertempuran”.
Armada Indonesia di bawah pimpinan Komodor Yos Sudarso, yang saat itu berada di KRI Macan Tutul, berhasil melakukan manuver untuk mengalihkan perhatian musuh sehingga hanya memusatkan penyerangan ke KRI Macan Tutul. KRI Macan Tutul tenggelam beserta awaknya, tetapi kedua kapal lainnya berhasil selamat.